Penyebaran Penyakit dan Kesehatan Masyarakat Penjajahan
Masa penjajahan membawa banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam aspek kesehatan. Penyebaran penyakit menjadi masalah besar akibat kondisi lingkungan yang buruk, eksploitasi tenaga kerja, serta kurangnya akses terhadap layanan medis. Sementara pemerintah kolonial memiliki fasilitas kesehatan yang cukup baik bagi kaum Eropa dan elit pribumi, rakyat jelata sering kali di biarkan menghadapi wabah penyakit tanpa bantuan memadai.
Artikel ini akan membahas kondisi kesehatan masyarakat di era kolonial, penyebaran penyakit, dan bagaimana sistem kesehatan saat itu berdampak pada kehidupan rakyat.
1. Kondisi Kesehatan di Zaman Penjajahan
a. Lingkungan yang Tidak Sehat
Pada masa penjajahan, kota dan desa sama-sama mengalami masalah kesehatan akibat buruknya sanitasi.
- Di kota, permukiman elite kolonial memiliki fasilitas sanitasi yang cukup baik, tetapi masyarakat pribumi yang tinggal di daerah kumuh sering mengalami kondisi yang tidak sehat.
- Di desa, sistem pertanian dan kerja paksa menyebabkan masyarakat tinggal dalam kondisi tidak higienis dengan keterbatasan air bersih.
- Penyakit menyebar dengan cepat karena banyaknya rawa, sistem drainase yang buruk, dan polusi dari limbah industri.
b. Minimnya Akses Kesehatan untuk Pribumi
Masyarakat pribumi hanya memiliki sedikit akses terhadap layanan kesehatan. Fasilitas medis lebih difokuskan untuk kepentingan orang Eropa dan pegawai kolonial.
- Rumah sakit modern hanya tersedia di kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Bandung.
- Masyarakat desa harus mengandalkan dukun atau tabib tradisional untuk mengobati berbagai penyakit.
- Biaya pengobatan mahal, sehingga rakyat kecil jarang mendapatkan perawatan medis yang layak.
2. Penyakit yang Menyebar di Masa Kolonial
Berbagai penyakit merebak selama masa penjajahan, terutama karena sanitasi buruk, eksploitasi tenaga kerja, dan kurangnya perawatan kesehatan. Beberapa penyakit utama yang banyak menyerang masyarakat pribumi antara lain:
a. Malaria
Malaria menjadi salah satu penyakit paling mematikan di Hindia Belanda. Penyakit ini berkembang dengan cepat karena:
- Banyaknya rawa dan genangan air yang menjadi tempat berkembangnya nyamuk Anopheles.
- Buruknya sistem drainase di perkebunan dan permukiman pribumi.
- Masyarakat pribumi tidak mendapatkan akses terhadap obat-obatan seperti kina, yang lebih banyak digunakan oleh orang Eropa.
b. Kolera
Kolera menyebar dengan cepat akibat buruknya sanitasi dan keterbatasan air bersih.
- Penyakit ini sering mewabah di daerah permukiman padat dan perkebunan.
- Air minum yang tercemar kotoran manusia menjadi penyebab utama penyebaran.
- Pemerintah kolonial hanya mengambil tindakan serius jika wabah mulai mengancam komunitas Eropa.
c. Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis menjadi momok bagi masyarakat perkotaan dan desa akibat kondisi kerja dan tempat tinggal yang tidak sehat.
- Pekerja di pabrik dan perkebunan sering bekerja dalam kondisi lembap dan penuh debu, meningkatkan risiko infeksi.
- Masyarakat miskin tinggal di rumah-rumah kecil dan padat, sehingga bakteri penyebab TBC mudah menyebar.
d. Pes dan Wabah Penyakit Menular Lainnya
Beberapa wabah penyakit lainnya, seperti pes dan disentri, juga melanda masyarakat kolonial.
- Penyakit pes sering muncul di daerah pelabuhan akibat tikus yang membawa bakteri Yersinia pestis.
- Disentri menjadi masalah besar di desa-desa dengan sanitasi yang buruk.
3. Dampak Sistem Kerja Paksa terhadap Kesehatan Masyarakat
Sistem kolonial tidak hanya mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi, tetapi juga berdampak besar pada kesehatan masyarakat, terutama melalui sistem kerja paksa seperti Rodi dan Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
- Tenaga kerja dipaksa bekerja berjam-jam tanpa istirahat yang cukup, menyebabkan kelelahan dan penurunan daya tahan tubuh.
- Pekerja di perkebunan mengalami malnutrisi, karena makanan yang di berikan sangat terbatas.
- Luka dan infeksi sering kali diabaikan, sehingga banyak pekerja meninggal akibat penyakit yang sebenarnya bisa dicegah.
Sistem ini membuat tingkat kematian rakyat pribumi semakin tinggi, sementara pemerintah kolonial lebih mementingkan keuntungan ekonomi di bandingkan kesejahteraan masyarakat.
4. Upaya Kolonial dalam Mengatasi Masalah Kesehatan
Meskipun kebijakan kesehatan kolonial lebih mengutamakan kesejahteraan orang Eropa, ada beberapa upaya yang di lakukan untuk mengurangi wabah penyakit, terutama ketika penyakit mulai mengancam kepentingan ekonomi kolonial.
a. Pembangunan Rumah Sakit dan Puskesmas Kolonial
- Rumah sakit seperti CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting) yang sekarang menjadi RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dibangun untuk melayani kebutuhan medis di Batavia.
- Beberapa klinik kesehatan didirikan di perkebunan besar untuk menjaga kesehatan para pekerja, meskipun fasilitasnya sangat terbatas.
b. Vaksinasi dan Pencegahan Penyakit
- Pada awal abad ke-20, program vaksinasi mulai di perkenalkan untuk mencegah cacar dan kolera.
- Kampanye kesehatan di lakukan untuk mengurangi penyebaran penyakit menular, meskipun lebih berfokus pada daerah yang dekat dengan komunitas Eropa.
c. Penelitian Kedokteran
- Lembaga penelitian seperti Eijkman Institute didirikan untuk mempelajari penyakit tropis seperti malaria.
- Upaya pengobatan mulai berkembang, tetapi masih sulit diakses oleh masyarakat pribumi.
5. Peran Rakyat dalam Menghadapi Wabah Penyakit
Di tengah keterbatasan layanan kesehatan, masyarakat pribumi mengandalkan cara-cara tradisional untuk melawan penyakit.
- Dukun dan tabib tradisional menggunakan ramuan herbal untuk mengobati berbagai penyakit.
- Gotong royong dalam masyarakat desa menjadi kunci dalam merawat sesama yang sakit.
- Penggunaan jamu dan obat-obatan alami, seperti jahe dan kunyit, tetap menjadi bagian penting dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Meskipun metode ini tidak selalu efektif, cara-cara tradisional ini menunjukkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi situasi sulit di bawah penjajahan.
Kesimpulan
Penyebaran penyakit di masa kolonial sangat di pengaruhi oleh kondisi lingkungan yang buruk, eksploitasi tenaga kerja, serta ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan. Sementara komunitas Eropa dan elit pribumi mendapatkan fasilitas medis yang lebih baik, rakyat kecil harus berjuang sendiri menghadapi wabah penyakit dengan kondisi yang minim.
Sistem kesehatan kolonial, meskipun mulai memperkenalkan beberapa upaya vaksinasi dan pembangunan rumah sakit, tetap tidak cukup untuk mengatasi masalah kesehatan yang meluas di kalangan pribumi. Akibatnya, tingkat kematian akibat penyakit tetap tinggi di kalangan rakyat biasa.
Warisan ketimpangan ini masih terasa hingga kini, di mana akses kesehatan di daerah terpencil sering kali masih tertinggal di bandingkan dengan kota-kota besar. Dengan memahami sejarah ini, kita dapat lebih menghargai pentingnya pemerataan layanan kesehatan di Indonesia saat ini.
Baca Juga Artikel Berikut Di : Artikeltogel.Com